Zero Tollerance to Corruption

Denny Indrayana

Doktor Hukum Tata Negara UGM

 

Tidak boleh ada toleransi atas korupsi. Untuk segala sesuatu yang haram, tidak boleh ada permakluman. Terlebih, korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Itu artinya korupsi bukan hanya haram, tetapi kejahatan maha-haram. Untuk menghadapinya tidak boleh ada sikap abu-abu. Justru sebaliknya untuk kejahatan yang telah menistakan kita sebagai bangsa, korupsi lebih tepat dilihat dengan kaca mata hitam-putih: tanpa toleransi.

 

Tetapi toleransi itulah yang terus terkesan abadi muncul dalam upaya penegakan hukum antikorupsi. Tebang pilih kasih korupsi. Itulah kesan kuat pemberantasan korupsi di sepanjang generasi. Kesan itu selalu muncul, dan terus sulit dibantah. Lihatlah kasus mandeknya pengadilan tindak pidana korupsi yang tersandung isu bisa tidaknya menghadirkan Ketua MA Bagir Manan sebagai saksi. Lihat pula kasus menggantungnya kasus korupsi mantan Presiden Soeharto.

 

Di kedua kasus itu, toleransi penegakan hukum korupsi menyamar dalam bentuk prosedur hukum yang rumit-berbelit. Akibatnya, yang menjadi polemik adalah apakah Bagir Manan dapat dihadirkan sebagai saksi; apakah Soeharto dapat disidangkan atau tidak. Substansi persoalan apakah telah terjadi tindak pidana korupsi justru terpinggirkan oleh polemik prosedural yang melelahkan dan amat menjemukan.

 

Padahal secara konstitusi sudah ditegaskan, Indonesia adalah negara hukum, semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Makna asas persamaan di hadapan hukum itu sebenarnya untuk mengantisipasi potensi hukum berlaku diskriminatif: hanya tajam kepada elit, tetapi tumpul kepada kawula alit. Maka, konstitusi menyerukan: hai elit penguasa, kalian semua sama posisinya di hadapan hukum! Tidak lebih tinggi dari siapapun. Not even one person can be above the law. Namun, dalam kenyataannya, pesan konstitusi itu terlalu sering dikhianati, yang terjadi justru sebaliknya. Asas persamaan di hadapan hukum itulah yang dikebiri oleh elit penguasa kita.

 

Dalam kasus korupsi, pemeriksaan para elit dihambat birokrasi perizinan presiden. Yang lebih ironis, dengan berlindung pada jabatan sebagai Ketua MA, Bagir Manan menolak untuk hadir dalam pemeriksaan manapun. Ketika dipanggil KPK yang bersangkutan menolak, dan balik memanggil KPK; ketika dipanggil Komisi Yudisial, hingga kini Bagir Manan tidak bersedia hadir. Terakhir yang bersangkutan tidak melakukan terobosan untuk hadir dengan jiwa besar di persidangan terdakwa Harini Wijoso. Padahal terlambatnya persidangan Harini  - yang dibatasi maksimal 90 hari – dapat menimbulkan argumen yang bersangkutan bebas demi hukum. Alangkah ironisnya jikalau seorang terdakwa kasus korupsi bebas hanya semata-mata karena Ketua MA tidak legowo bersaksi.

 

Secara kultur hukum tidak bersaksinya Bagir Manan atau berhentinya kasus Soeharto akan menjadi pelajaran amat buruk bagi bangsa. Masyarakat awam akan mempunyai referensi untuk tidak mematuhi proses peradilan. Mereka dapat berargumen mengapa harus bersaksi di persidangan kalau Ketua MA saja dapat bermain silat untuk menghindar hadir di luar maupun di dalam persidangan.

 

Sebenarnya mengapa Bagir Manan dan Soeharto sulit dihadirkan? Jawabannya karena kasusnya bukan menyangkut Bagir Manan atau Soeharto sebagai pribadi sahaja. Bagir dan Soeharto hanyalah benteng pertahanan bagi kelompok lain yang lebih banyak bin berjamaah. Dalam kasus Soeharto paling tidak ada tiga kelompok yang berposisi terbelah. Kelompok pertama adalah pembalas dendam yang ingin menghukum Pak Harto apapun alasannya; kelompok kedua adalah kelompok yang ingin membebaskan Pak Harto apapun resikonya; kelompok ketiga adalah mereka yang ingin melihat penegakan hukum dilakukan secara obyektif tanpa kontaminasi kepentingan, semata ingin membalas dendam atau semata ingin membebaskan.

 

Bagi kelompok yang ingin Soeharto bebas, maka beliau adalah benteng pertahanan. Jikalau Soeharto berhasil disidangkan dan terjerat hukum, maka semakin tipis peluang bagi mereka untuk menghindar, karena mungkin merekapun telah secara khusyuk menjadi makmum dalam problem hukum yang dilakukan sang imam.

 

Demikian pula halnya dengan Bagir Manan. Dia adalah benteng pertahanan bagi para hakim yang bermasalah. Jikalau Ketua MA bersaksi dalam kasus judicial corruption, maka tidak ada tameng bagi para hakim tersebut untuk di kemudian hari menghindar dari masalah serupa yang berbau anyir mafia peradilan. Itulah sebabnya, Bagir Manan dipilih kembali secara amat solid sebagai Ketua MA. Karena, dia berhasil dimanfaatkan menjadi benteng pertahanan oleh para hakim yang korup. Walaupun sang benteng pertahanan sebenarnya tidak layak untuk menjadi Ketua MA. Perpanjangan masa pensiun – yang ditandatanganinya sendiri – sewajibnya dapat diargumentasikan batal demi etika-hukum, dan karenanya Bagir tidak punya dasar konstitusional untuk mencalonkan diri apalagi terpilih sebagai Ketua MA.

 

Melihat problematika hukum – termasuk penegakan hukum antikorupsi – yang selalu tertatih berhadapan dengan pejabat negara, menjadi relevan untuk mengadopsi kembali proses hukum yang tidak hanya adil, tetapi juga akseleratif. Karena, publik berhak untuk tidak terpenjara oleh birokrasi diskriminatif yang sering dipasang sebagai ranjau prosedural oleh para elit yang korup. Dalam konteks itulah forum previlegiatum kembali menjadi relevan, yaitu forum tingkat pertama dan terakhir untuk menyidangkan kasus pidana yang menjerat pejabat negara. Forum peradilan demikian pernah diadopsi berdasar Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950.

 

Akhirnya, perlu ditegaskan sekali kita sebagai bangsa mentoleransi perilaku korup, yang sering disamarkan dalam perdebatan hukum prosedural, maka korupsi tidak akan pernah dapat diberantas dari bumi pertiwi. Itulah kesalahan paling mendasar langkah preventif dan represif penegakan hukum antikorupsi. Sejak berdekade bangsa ini sebenarnya berusaha membumihanguskan korupsi. Namun, senyatanya, upaya itu selalu gagal menyentuh pemain utama dan hanya berhasil memenjarakan tokoh figuran. Pelaku utama terkadang berhasil dijawil, tetapi hanya sebatas itu. Selalu saja ada alasan prosedural bagi kelompok yang dekat dengan kekuasaan dan keuangan untuk menghindar dari jeratan hukum. Selalu saja ada celah hukum prosedural yang para elit gunakan untuk mentoleransi perilaku korup.

 

Memang – harus diakui – tidak mudah menyentuh empat wilayah kekuasaan paling angker: Istana, Cendana, Senjata dan Pengusaha Naga. Di keempat teritori itu, upaya pemberantasan korupsi paling sering membentur tembok, paling sering gagal. Di keempat wilayah itu, korupsi sering muncul sebagai perilaku makruh – atau bahkan mubah, jauh dari klasifikasi haram. Resiko jika ada yang berupaya masuk ke empat wilayah itu adalah di-Munir-kan atau diarsenikkan. Dalam kondisi demikian, yang paling berkuasa untuk bertindak seharusnya adalah pemimpin yang tidak hanya bersih, namun juga berani. Kita butuh Presiden, Jaksa Agung, Ketua MA dan para pemimpin yang punya semangat dan konsisten menerapkan visi antikorupsi, apapun resikonya. Pemimpin yang mendeklarasikan: zero tolerance to corruption. (*)