Stop Politisasi BBM

Denny Indrayana

Staf Pengajar Hukum Tata Negara

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

 

 

SUDAH menjadi kodrat bahwa keputusan menaikkan harga BBM selalu diikuti panas-dinginnya suhu politik dalam negeri. Suhu politik akan semakin tinggi jika relasi presiden dan parlemen tidak berjalan serasi. Sebagai eksekutor peraturan perundangan, presiden memang mempunyai kewenangan untuk menaikkan harga BBM. Namun, dukungan politik atas kewenangan eksekutorial presiden itu akan sangat bergantung pada konfigurasi politik di DPR. Dinamis dan beragamnya aliansi politik DPR 2004-2009 menyebabkan isu BBM yang amat populis menjelma jadi dagangan politik yang layak “goreng” dalam bursa saham politik tanah air.

 

Paling tidak ada tiga motivasi politik dari sikap fraksi-fraksi di DPR atas naiknya harga BBM. Pertama, fraksi-fraksi di DPR memang betul-betul ingin menurunkan harga BBM seperti masa pra 1 Maret 2005; kedua, fraksi-fraksi di DPR hanya ingin mendelegitimasi pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) di mata rakyat – dan lebih jauh ingin bermain dengan isu pemberhentian presiden (impeachment); dan ketiga, fraksi-fraksi di DPR hanya ingin mengambil keuntungan dari naik daunnya “saham politik” BBM ini. Dengan menolak keputusan pemerintah, fraksi-fraksi di DPR ingin menunjukkan bahwa mereka seakan-akan peduli terhadap penderitaan rakyat, dan karenanya layak dipilih dalam pemilu 2009 kelak.

 

Saya berpendapat, di antara ketiga motivasi tersebut, kemungkinan pertama bahwa DPR benar-benar ingin menurunkan harga BBM justru merupakan motivasi yang paling kecil berada di lubuk hati para anggota DPR. Upaya menurunkan citra presiden SBY dan menggunakan isu BBM sebagai dagangan politik adalah niatan yang lebih dominan.

 

Mekanisme Internal Bertele-tele. Pendapat saya tersebut didasarkan pada pilihan fraksi-fraksi di DPR yang lebih berkonsentrasi untuk menurunkan harga BBM melalui mekanisme internal DPR. Upaya yang sekarang aktif dilakukan dengan mengupayakan hak angket, dan pengambilan keputusan melalui Sidang Paripurna DPR adalah mekanisme internal yang sebenarnya tidak efektif untuk langsung menurunkan harga BBM. Mekanisme internal tersebut justru cenderung prosedural dan gampang terjebak pada perdebatan non-substansial yang bertele-tele.

 

Perkelahian memalukan teranyar di DPR sebenarnya sama sekali tidak menyangkut substansi menurunkan harga BBM. Perkelahian tersebut hanya berhubungan dengan prosedur pengambilan keputusan, apakah akan langsung dilakukan dalam Sidang Paripurna DPR atau diserahkan kepada alat kelengkapan DPR. Jadi yang diperkelahikan anggota DPR adalah “pepesan kosong”. Penundaan-penundaan sidang DPR yang terus terjadi makin menegaskan bahwa mekanisme internal DPR penuh dengan ranjau-ranjau prosedural. Alih-alih harga BBM akan turun, yang pasti terjadi adalah tarik-menarik kepentingan antara fraksi.

 

Lebih ironis lagi, jika motivasi utamanya adalah betul-betul menurunkan harga BBM, maka mekanisme internal DPR bukan langkah yang cerdas, apalagi efisien. Anggaplah misalnya semua ranjau prosedural dapat dilewati oleh DPR – dan lebih jauh – anggaplah secara ekstrim semua fraksi dan anggota DPR setuju secara mutlak menolak naiknya harga BBM, dengan hasil voting 550 menolak, dan 0 menerima; namun kemenangan mutlak itu sama sekali bukan jaminan bahwa harga BBM akan turun kembali.

 

Keputusan DPR untuk menolak naiknya harga BBM hanya merupakan keputusan politik yang mengandung tekanan politik, tetapi tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Keputusan untuk menurunkan kembali harga BBM tetap merupakan domain kewenangan eksekutif. Meskipun DPR secara mutlak menolak kenaikan harga BBM, tetapi jika pemerintahan SBY tetap cuek saja, maka “DPR tidak dapat berbuat apa-apa”.

 

Impeachment dan Peran Strategis Golkar. Anggaplah lebih jauh, cueknya presiden tersebut menggusarkan DPR dan mereka menjadikannya sebagai alasan untuk berpendapat bahwa presiden dapat diberhentikan, maka proses impeachment juga bukan hal yang mudah. Tidak sebagaimana layaknya Presiden Gus Dur yang relatif mudah tergusur, Presiden SBY akan lebih alot untuk dijungkalkan. Hal itu karena secara konstitusional maupun secara personal SBY lebih kokoh. Secara konstitusional mekanisme impeachment jauh lebih rumit dan sulit. Tidak hanya melibatkan pertimbangan politis DPR dan MPR (termasuk DPD) tetapi juga melibatkan pertimbangan yuridis Mahkamah Konstitusi. Secara personal, gaya akomodatif SBY menyebabkan ia lebih mudah menghadirkan kawan politik, dibandingkan ala konfrontatif Wahid yang lebih mudah melahirkan lawan politik.

 

Secara hitung-hitungan politik, jikalaupun DPR memaksakan untuk menggulirkan isu impeachment maka SBY dapat dengan mudah melayukannya sebelum berkembang. Yaitu cukup dengan mensolidkan barisan Partai Demokrat dan partai Golkar di DPR. Jumlah kursi Demokrat (57) dan Golkar (129) adalah 186 kursi, suatu jumlah yang lebih dari sepertiga (183) jumlah 550 kursi total di DPR. Dengan demikian, kecuali terjadi perseteruan politik antara SBY dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden dan juga Ketua Umum Partai Golkar, maka dukungan strategis Golkar akan menyebabkan SBY langgeng menjadi Presiden hingga 2009.

 

Mekanisme Eksternal lebih Efektif. Jikalau fraksi-fraksi di DPR memang sungguh-sungguh ingin menurunkan kembali harga BBM, maka mekanisme eksternallah yang harus dimaksimalkan, dan mekanisme internal DPR yang inefisien dan bertele-tele justru harus diminimalkan. Ada dua mekanisme eksternal yang dapat diupayakan oleh DPR. Keduanya lebih bermain di wilayah yuridis dan bukan di areal politis, yaitu: mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) atas Peraturan Presiden yang menaikkan harga BBM; dan mengajukan permohonan pemeriksaan sengketa kewenangan antara presiden dan DPR ke hadapan Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Berbeda dengan hasil akhir mekanisme internal DPR yang panjang dan melelahkan namun hasilnya belum tentu, dan kalaupun berhasil tidak mempunyai kekuatan mengikat, maka dua mekanisme hukum ke MA dan MK ini proses hukumnya lebih jelas dan hasilnya mempunyai kekuatan eksekutorial. Sayangnya, sejauh ini hanya ada lima anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional yang menggunakan peluang judicial review ke MA ini,dan belum ada tanda-tanda DPR akan membawa masalah ini ke sengketa kewenangan di hadapan MK.

 

Padahal, untuk judicial review di MA, jika dimenangkan, tujuan menurunkan harga BBM akan lebih jelas hasilnya. Putusan MA yang membatalkan Peraturan Presiden tentang kenaikan harga BBM karena bertentangan dengan Undang-undang APBN 2005 dan/atau Undang-undang Keuangan Negara, misalnya, akan berakibat langsung dengan kembalinya harga BBM ke harga semula sebelum 1 Maret 2005. Berbeda dengan penolakan harga BBM di DPR yang masih tergantung political will pemerintah, putusan MA langsung mengikat dan pemerintah atas dasar supremasi hukum harus menghormati putusan MA, konsekuensinya harga BBM pra 1 Maret 2005 langsung berlaku kembali, tanpa perlu adanya persetujuan dari pemerintah sekalipun.

 

Selanjutnya, langkah pengajuan sengketa kewenangan ke MK, memang lebih sulit dimenangkan DPR. Pertama, karena DPR sendiri tidak satu suara, padahal yang dapat mengajukan permohonan adalah DPR sebagai satu institusi. Kedua, secara konsep dasar, kewenangan kebijakan BBM adalah domain eksekutif, sedangkan legislatif hanya melakukan fungsi kontrol. Namun, langkah ini tidak ada salahnya dilakukan terutama untuk melihat permasalahan ini dari kacamata yuridis ketimbang politis.

 

Menarik pertarungan Presiden dan DPR tentang BBM ini ke wilayah hukum adalah keunggulan utama penyelesaian judicial review di MA ataupun permohonan sengketa kewenangan di MK. Kedua upaya hukum ini berpotensi melahirkan budaya penyelesaian perseteruan politik di bawah payung hukum. Hal ini memperteguh komitmen supremasi hukum, salah satu ciri negara demokrasi.

 

JADI para anggota DPR yang terhormat, jika anda memang serius menurunkan harga BBM berkonsentrasilah membawa masalah ini ke depan meja hijau MA, atau ke hadapan meja merah MK. Stop Politisasi BBM di parlemen. (*)