Sialnya
Presidensial
Denny
Indrayana
Dosen Hukum
Tata Negara UGM
Kandidat
Doktor di
BAHWASANYA sistem presidensial berpotensi
membawa kesialan sudah disampaikan Juan J Linz dan Arturo Valenzuela (1994). Mereka
berargumentasi, sistem presidensial tidak dapat mendukung demokrasi. Sistem
pemerintahan tersebut relatif tidak stabil. Scott Mainwairing (1991) sepakat.
Setelah melakukan penelitian di banyak negara Amerika Latin, Mainwairing
berkesimpulan, sistem presidensial akan lebih sial bila dipadukan dengan sistem
multipartai.
Bagaimana dengan
Sialnya, sistem presidensial murni itu kawin
dengan sistem multipartai. Apakah perkawinan sial menurut Mainwairing ini bisa
menjadi penghambat demokratisasi di
Sistem presidensial dipilih dalam proses
perubahan konstitusi lebih karena alasan romantis-politis. Andrew Ellis (2002)
menyatakan, sebenarnya tidak ada perdebatan yang intensif untuk menentukan
pilihan antara sistem presidensial dan parlementer. Lebih jauh, Ellis
mengatakan, di kala pembahasan amandemen di MPR, sebenarnya tidak ada
penjelasan mendalam tentang apakah sistem presidensial. Sindrom sistem
parlementer yang dicitrakan telah gagal diterapkan di era 1950-an, adalah sebab
utama mengapa sistem presidensial
dipilih oleh MPR.
Sedangkan sistem multipartai hadir sebagai
suatu keniscayaan. Setelah terkekang secara politis di bawah rezin otoriter
Soeharto, menjamurnya partai politik adalah merupakan panggilan alam politik
yang tidak dapat dihindarkan. Rekayasa hukum dalam undang-undang partai politik
2003 yang memberikan syarat berat bagi pembentukan partai politik, karenanya
adalah kebijakan hukum yang tepat. Pengetatan syarat parpol itu, ditambah
dengan dinaikkannya electoral threshold
bagi peserta pemilu, adalah upaya hukum untuk menciptakan sistem kepartaian
yang lebih sederhana. Meski pembatasan itu terkesan tidak demokratis, ia tetap
lebih baik dibandingkan sistem penyatuan paksa partai-partai di masa awal Orde
Baru.
Syarat dukungan suara parlemen, yang dinaikkan
dari 3% ke 20% untuk mendaftar menjadi calon presiden di pemilu 2009, juga
merupakan upaya hukum untuk menciptakan presidensial yang lebih efektif. Meski,
dalam praktek, syarat inipun bisa menimbulkan masalah. Tanpa demokratisasi partai politik, disertai
pendidikan politik bagi rakyat yang serius - agar menjadi pemilih yang lebih
bertanggungjawab - pemilu presiden 2009 akan kembali dikuasai partai-partai
besar pemenang pemilu 2004. Kondisi demikian adalah bagaikan memakan buah
simalakama: sistem kepartaian sederhana yang menunjang pemerintahan
presidensial mungkin terbentuk; namun,
dengan berkuasanya partai-partai yang cenderung korup maka jalan menuju
negara demokratis masih cenderung merupakan impian daripada kenyataan. (Perlu
dicatat bahwa syarat dukungan parlemen yang lebih tinggi di pemilu 2009 ini
jauh lebih baik dibandingkan proposal amandemen UUD 1945 yang diajukan Golkar
dalam pembahasan Perubahan Keempat.
Proposal Golkar mensyaratkan hanya dua partai pemenang pemilu yang dapat
mengajukan calon presiden sejak pemilu 2004. Untungnya, proposal yang syarat
kepentingan politik jangka pendek itu tidak didukung partai lain sehingga tidak
dapat disahkan menjadi aturan konstitusi).
TIDAK ada jalan lain, untuk menciptakan sistem
presidensial yang efektif dan demokratis, di samping mendorong terciptanya
sistem kepartaian sederhana, pendidikan politik rakyat harus menjadi agenda
mendesak bagi
Hasil pemilu legislatif 2004 membawa kabar
baik dan kabar buruk. Kabar buruknya, pemilu tersebut masih dimenangkan
partai-partai lama yang cenderung penghambat demokratisasi. Kabar baiknya,
hanya 24 partai yang menjadi peserta pemilu, turun separuh dari 48 partai di pemilu 1999. Lebih jauh, dari 24 partai
itu, hanya 7 partai yang melewati electoral
threshold. Dengan demikian, seharusnya, pemilu 2009 akan diikuti oleh lebih
sedikit parpol. Artinya, upaya menuju sistem kepartaian yang lebih sederhana
sudah benar arahnya.
Sialnya, arah yang benar itu tidak didukung
dengan lahirnya pasangan-pasangan calon presiden yang ideal. Seharusnya,
platform politik menjadi pertimbangan utama dalam membentuk pasangan
capres-cawapres, serta koalisi partai pendukungnya. Sayangnya yang terjadi
adalah perkawinan yang absurd.
Setelah mendeklarasikan kerjasama gerakan
antikorupsi antara NU-Muhammadiyah, Hasyim Muzadi masih bersedia menjadi
cawapres Megawati. Padahal, dalam hal korupsi, Megawati tidak memperlihatkan
kebijakan yang tegas. Izin pemeriksaan Jaksa Agung dalam kasus korupsi yang
tidak juga dikeluarkan Megawati adalah indikator utama lemahnya komitmen
pemberantasan korupsi Megawati Taufik
Kiemas. Sikap yang sama diambil oleh Solahuddin Wahid, Wakil Ketua Komnas HAM,
yang bersedia menjadi cawapres Wiranto. Padahal Wahid sendiri pernah
diberitakan menyatakan bahwa, Wiranto harus bertanggung jawab dalam suatu kasus
kejahatan HAM. Dalam hal koalisi, pilihan PKB untuk mendukung Wiranto juga
patut disayangkan. Pilihan itu menyebabkan PKB menjadi satu perahu dengan
partai Golkar dan PKPB (Partai Karya Peduli Bangsa, partai yang dinakhodai
keluarga Cendana), dua partai yang banyak politisinya adalah penyokong
pemerintahan otoriter Orde Baru.
Pilihan-pilihan politik di atas menyebabkan
koalisi bersih, yang sempat digagas beberapa kalangan sebelum pemilu
legislatif, gagal tercipta. Sekali lagi kubu reformis lebih terpolarisasi
ketimbang terkonsolidasi. Hal ini adalah kabar buruk bagi demokratisasi. Bau
restorasi, proses reinkarnasi pemerintahan otoriter, lebih kencang tercium.
Hal lain, sistem multi partai menyebabkan
tidak ada parpol yang menang mutlak pemilu. Dari para capres yang muncul,
kemungkinan lahir dua kategori presidensial: presiden sial (minority president) dan presiden sialan
(majority president). Presiden sial
muncul karena presiden terpilih nantinya tidak didukung oleh kekuatan politik
yang memadai di parlemen. Pemerintahan semacam ini cenderung tidak efektif.
Presiden sialan adalah presiden yang relatif mempunyai dukungan lebih besar di
parlemen, namun karena merupakan gabungan kelompok politisi anti reformasi,
maka presiden yang nantinya terpilih lebih banyak membawa kesialan daripada
kemujuran.
Lahirnya sistem presidensial yang demokratis
dan efektif (effective president),
karenanya, cenderung merupakan hal yang mustahil. Dengan kondisi demikian,
setelah memilih siapapun menjadi presiden nantinya, para pemilih yang
bertanggung jawab harus menyelamatkan demokratisasi